7 Simbol Lonceng dan Bunyi dalam Upacara Adat

7 Simbol Lonceng dan Bunyi dalam Upacara Adat

  • Penulis 7semua
  • 4 Desember 2025
  • 9 menit

7semua - Sebelum manusia pandai menulis, bunyi adalah bahasa pertama yang dipakai untuk memanggil, mengingatkan, dan berdoa.

Dalam banyak tradisi Nusantara, lonceng, kentongan, bedug, gong, dan berbagai alat bunyi lain bukan sekadar alat komunikasi, tapi simbol spiritual: penanda dimulainya upacara, pemanggil roh baik, hingga pengusir energi buruk.

Mari kita bahas 7 simbol lonceng dan bunyi dalam upacara adat Nusantara, dan makna halus yang bergetar di balik setiap denting dan pukulannya.

1. Lonceng dan Genta di Tempat Suci

Dalam beberapa tradisi, genta kecil (lonceng tangan) dibunyikan saat doa atau mantra dibaca.
Bunyinya yang ringan dan bergetar halus dipercaya:

  • membuka “jalur” antara dunia manusia dan dunia halus,

  • mengundang kehadiran energi baik,

  • membantu pikiran tetap fokus pada doa.

Genta bukan sekadar alat, tapi penjaga konsentrasi batin — setiap dentingnya seperti mengingatkan: “Hadirlah di sini, sekarang.”

2. Kentongan – Bunyi Panggilan dan Peringatan

Di desa-desa, kentongan dipakai untuk:

  • mengumpulkan warga,

  • memberi tanda bahaya,

  • atau memulai kegiatan adat.

Dalam makna simbolis, kentongan adalah suara komunitas:
sekali dipukul, satu kampung tahu ada sesuatu yang penting.
Ia melambangkan kesadaran kolektif — bahwa kita tidak hidup sendirian.

3. Bedug – Penanda Waktu dan Penyatu Suara

Bedug sering kita dengar di masjid, tapi di beberapa tempat juga dipakai dalam acara adat.
Pukulan bedug:

  • mengumumkan masuknya waktu ibadah,

  • menandai momen sakral tertentu,

  • memberi ritme pada doa berjamaah.

Maknanya: menggetarkan ruang bersama-sama.
Suara bedug yang dalam seolah membalut seluruh kampung dalam satu irama.

4. Gong dalam Upacara dan Tarian

Gong hadir dalam gamelan, tarian sakral, hingga upacara adat.
Dentang gong:

  • menandai dimulainya babak baru,

  • memberi tanda klimaks dalam pertunjukan,

  • menjadi penanda puncak energi.

Secara simbolis, gong adalah titik jeda dan puncak sekaligus:
ketika ia dibunyikan, semua orang berhenti sejenak, sadar bahwa sesuatu yang penting baru saja terjadi.

5. Bunyi Serunai, Suling, dan Tiupan Sakral

Di beberapa daerah, suling, serunai, atau alat tiup tradisional ditiup dalam prosesi adat:

  • mengantar pengantin,

  • mengiringi arak-arakan,

  • atau mengiringi ritual tertentu.

Bunyi tiupan panjang dan melengking lembut melambangkan nafas kehidupan — seolah mengingatkan bahwa hidup ini dimulai dan diakhiri dengan satu tarikan dan hembusan terakhir.

6. Lonceng di Upacara Kematian dan Ziarah

Di beberapa tradisi, bunyi lonceng dibuat pelan dan berulang di dekat jenazah atau saat ziarah.
Maknanya:

  • mengantar roh dengan getaran lembut,

  • mengingatkan yang hidup bahwa waktu di dunia fana telah selesai,

  • memberi ritme doa agar tidak terpecah oleh tangis.

Lonceng di sini menjadi pengantar jiwa, bukan sekadar bunyi latar.

7. Hening Setelah Bunyi

Yang menarik, dalam upacara adat, bunyi yang keras sering diikuti hening yang panjang.
Di situlah makna terdalamnya:

  • setelah kentongan, semua diam mendengarkan,

  • setelah gong, semua berhenti sejenak,

  • setelah bedug, hati bersiap memasuki doa.

Hening setelah bunyi adalah ruang suci — tempat kata-kata tak lagi diperlukan, dan yang tersisa hanyalah rasa.

Penutup

Lonceng dan bunyi dalam upacara adat mengajarkan:
bahwa suara bisa jadi doa, peringatan, sekaligus pelukan bagi jiwa.

Jika kamu perhatikan, hidupmu pun punya “kentongan” dan “gong”-nya sendiri: momen-momen yang begitu keras menggetarkanmu, lalu meninggalkan keheningan yang mengubah cara pandangmu.

👉 Bunyi apa yang paling terasa sakral buatmu: denting halus, pukulan dalam, atau justru hening setelah semuanya berhenti?